Credit: Pexels.com |
Standar kebaikan setiap orang bisa saja berbeda. Tetapi gak merubah kebaikan yang haq.
Beberapa waktu lalu saya mendengar seseorang berniat mencibir tetangga karena anak laki-lakinya disuruh mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu, ngepel dan melipat baju. Menurut seseorang itu, si tetangga melakukan hal yang salah karena anak laki-laki kok disuruh ngerjain pekerjaan rumah seperti itu. Dan seseorang itu beranggapan kalau yang dia lakukan benar, yaitu gak menyuruh anaknya mengerjakan pekerjaan rumah semasa kecilnya.
Saya tidak beranggapan kalau yang dilakukan si tetangga itu salah. Karena bagi saya pekerjaan rumah bukanlah pekerjaan khusus kaum hawa. Itu sebenarnya life skill yang harusnya dimiliki semua gender. Kalau suatu saat si anak laki-laki itu harus hidup jauh dari orang tua, masa iya gak mau bersih-bersih kamar kosnya, atau gak merapikan bajunya? Iyakan?
Kita gak pernah tahu akan menjalani hidup seperti apa nantinya. Mempersiapkan lebih awal tentu akan lebih baik supaya gak kaget. Toh seseorang itu terkadang juga mengeluh kenapa anak laki-lakinya sering bikin berantakan, gak tertib, gak mau mencuci piring setelah makan atau membantunya mengerjakan pekerjaan rumah. Apalagi memang semua anaknya laki-laki. Kebayangkan? Sebenarnya semua anak, entah itu laki-laki atau perempuan, mereka harus diajarkan membersihkan rumah. Karena rumah itu milik bersama, kalau yang bersih-bersih hanya kaum perempuan, maka siap-siap lelah beres-beres rumah terus kalau gak punya anak perempuan untuk bantu bersih-bersih.
Pemikiran anak perempuanlah yang harus beres-beres rumah sebenarnya pemikiran kolot. Saya tahu banget, mitos-mitos yang mengatakan kalau sampai orang laki-laki beres-beres rumah derajatnya bisa turun. Entah kenapa bisa begitu. Padahal Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam membantu istri-istrinya mengerjakan rumah. Kok para lelaki yang derajatnya gak lebih tinggi dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bisa-bisanya bilang derajatnya bakalan turun kalau beres-beres rumah? Mangap ya kok mendadak emosi, haha.
Mengajarkan anak laki-laki untuk bisa mengerjakan pekerjaan rumah sebenarnya untuk kebaikan si anak juga. Bayangin ketika mendadak ditinggal orang tua dan gak ada yang bisa beres-beres, rumah berantakan gak karuan. Emangnya enak tinggal di rumah berantakan? Saya yakin meski anak laki-laki sekali pun ingin tinggal di rumah yang bersih.
Saya sendiri meski anak perempuan gak pernah semasa kecilnya mengerjakan pekerjaan rumah. Karena mendiang ayah saya beranggapan kalau anaknya -meski perempuan- gak boleh mengerjakan pekerjaan rumah. Bagi saya itu sebuah kesalahan. Setelah saya berumah tangga seperti ini saya merasakan sulitnya beradaptasi. Bayangkan, saya yang gak pernah nyapu, ngepel, nyuci mendadak harus mengerjakan semua sendiri. Dan saat itu suami saya juga senasib dengan saya, ya sama-sama anak mamih! Akhirnya kami sama-sama belajar dan membantu satu sama lain mengerjakan pekerjaan rumah.
Sekarang sudah lebih baik, saya sudah mulai cakap dalam mengerjakan pekerjaan rumah. Suami juga sangat ringan tangan membantu pekerjaan rumah. Ya jangan disamakan dengan suami lainnya ya, suami saya bekerja full seharian di rumah. Jadi gak heran kalau bisa sering membantu saya mengurus anak maupun pekerjaan rumah.
Padahal niatnya nulis sendikit ya tapi kok jadi panjangan banget, haha. Saya jadi teringat sesuatu. Suami pernah bilang, kalau hanya orang putus asa yang bilang cantik itu relatif. Saya dulu gak paham tapi setelah merenung saat makan pangsit tadi pagi saya baru engeh. Sama dengan konsep kebaikan, sebenarnya gak ada kebaikan relatif hanya persepsi orangnya saja yang berbeda. Jadi intinya ending tulisan ini agak gak nyambung, mohon maaf dan terima duit, haha.
Wahaha, untung suamimu senasib. Hah org rumah msh milih kerjaan. Nyuci ya cewek
ReplyDelete